Berdasarkan laporan BPS Sulawesi Barat, angka putus sekolah anak usia 7-15 tahun terus mengalami peningkatan hingga mencapai 12.611 siswa pada tahun 2022. Sebagian besar anak putus sekolah setelah kira-kira delapan tahun sekolah dan jika dilihat secara statistik kebanyakan tidak melanjutkan Pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama (Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik, 2020). Hanya sekitar 30 persen remaja lulusan SMA di Sulawesi Barat yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi (Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik, 2020). Hal tersebut masih jauh dari dari tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki terhadap pendidikan teknis, kejuruan, dan pendidikan tinggi yang terjangkau dan berkualitas, pada tahun 2030. Melihat fakta masih tingginya putus sekolah di Sulawesi Barat menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan perhatian tidak hanya pemerintah namun seluruh komponen masyarakat, termasuk NGO.
Macanga Institute didukung UnionAid New Zealand melalui program INSPIRASI melaksanakan sebuah studi co-design di dusun kayumate, desa kalukku barat, kecamatan kalukku, kabupaten Mamuju untuk mempelajari persoalan putus sekolah khususnya di komunitas nelayan di daerah tersebut. Co-Design merupakan sebuah pendekatan yang mengombinasikan riset kualitatif dan partisipasi aktif berbagai komponen masyarakat lokal dalam menciptkakan solusi terkait masalah yang mereka hadapi. Pendekatan Human-Centered Design atau co-design ini dipelajari melalui program INSPIRASI yang dilaksanakan Unionaid New Zealand bekerjasama dengan BaKTI Makassar setiap tahun sejak 2018. Melalui program INSPIRASI ini juga setiap pemimpin muda yang terpilih di daerah mendapat dukungan pendanaan untuk melaksanakan program kecil di komunitas mereka, salah satunya Macanga Institute.
Proyek Macanga Institute dilaksanakan di salah satu komunitas nelayan di Desa Kalukku Barat, Kabupaten Mamuju dengan dukungan penuh dari UnionAid. Terdapat 7 dusun di Kalukku Barat dengan jumlah penduduk lebih dari 5000 jiwa. Mayoritas penduduk di dua dusun tersebut bekerja sebagai nelayan, penjual ikan, petani beras, pekerja bangunan, dan pekerja informal lainnya. Jarak antara ibu kota Mamuju ke desa ini sekitar 36 KM atau memakan waktu kurang lebih 1 jam berkendara dari ibukota provinsi.
Program co-design dimulai dengan studi imersi yang dilaksanakan dari bulan Desember 2021 hingga Maret 2022. Melalui studi imersi ini ditemukan bahwa putus sekolah yang terjadi di komunitas nelayan banyak dipengaruhi budaya yang telah berlangsung turun temurun dimana anak laki-laki membantu ayahnya bekerja menangkap ikan. Sebagian besar anak laki-laki usia 9 atau 10 tahun di salah satu sekolah dasar di desa ini banyak yang tidak aktif bersekolah atau bahkan telah putus sekolah. Kebanyakan mereka bekerja membantu orang tua utamanya ayah untuk melaut mencari ikan. Berbeda dengan anak laki-laki, kebanyakan anak perempuan menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar mereka bahkan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama sebelum menikah. Kasus perkawinan anak juga cukup tinggi khususnya anak perempuan.
Di daerah ini laki-laki dewasa bekerja sebagian besar sebagai nelayan yang mulai bekerja mencari ikan dini hari paling cepat kira-kira pukul 3 pagi hingga siang bahkan sore hari. Penghasilan rata-rata tidak menentu, tergantung banyaknya ikan yang didapat. Ibu-ibu membantu suami mereka dengan berdagang ikan dan ada pula yang menjaga warung untuk menjual makanan dan minuman tradisional. Setiap hari orang tua anak dikampung nelayan ini bekerja keras dari pagi hingga malam untuk menafkahi keluarga hingga tidak sempat untuk memperhatikan kegiatan anak termasuk sekolah. Antara perempuan dan laki-laki, tidak semua bekerja dan memainkan peran penting dalam membangun ekonomi keluarga.
Perempuan adalah salah satu penggerak utama roda perekonomian keluarga namun mayoritas ibu di komunitas nelayan ini juga menikah di usia yang sangat muda. Sebagian besar ibu muda (di bawah 18 tahun) menikah sebelum menyelesaikan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Belum lagi, setiap keluarga di kampung nelayan ini memiliki rata-rata 5-9 anak, sangat jarang jumlah anak dalam sebuah keluarga kurang dari 5 anak. Sekilas persoalan putus sekolah ini adalah karena masalah ekonomi tetapi jika melihat penghasilan maupun budaya masyarakat setempat dan ditambah program bantuan sosial pemerintah untuk pendidikan di daerah ini, ekonomi bukanlah alasan utama dan satu-satunya.
Berdasarkan gambaran permasalahan yang ditemui dalam penelitian awal, ternyata ada banyak aktor dan faktor yang telah membentuk system yang mendorong putus sekolah di masyarakat. Salah satu yang menjadi keprihatinan Macanga Institute adalah sekolah yang belum mampu mengubah model pendidikan yang tepat bagi konteks dan budaya setempat. Dapat dipahami bahwa tantangan anak dalam budaya masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan akan kesulitan mengikuti model pendidikan yang mengharuskan anak ke sekolah setiap jam 7 pagi dan pulang di siang hari. Mewajibkan anak mengikuti system pendidikan yang telah berjalan selama ini tidak akan menguntungkan anak-anak nelayan. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab lain di rumah yang juga telah menjadi budaya turun temurun. Anak laki-laki harus dilatih mengarungi lautan sejak kecil untuk mempersiapkan mereka menjadi pelaut yang berani. Demikian halnya perempuan harus dapat membantu laki-laki dengan berjualan hasil tangkapan di rumah. Dalam masyarakat Mandar budaya ini dikenal dengan istilah Sibaliparriq yang secara sederhana dipahami sebagai budaya saling membagi beban antara suami dan istri untuk mengatasi masalah termasuk persoalan ekonomi dalam keluarga. Budaya ini yang telah mengakar dan menjadi identitas masyarakat Mandar. Melaksanakan model disiplin dan pendidikan yang tidak tidak responsive terhadap kebutuhan masyarakat setempat tidak akan membantu menyelesaikan persoalan putus sekolah di Sulawesi Barat.
Selain keluarga, sekolah terdekat dari komunitas nelayan ini mengaku kewalahan dengan kenakalan siswa. Menurut pengakuan guru-guru, siswa sangat sulit disiplin dan tidak dapat fokus dalam belajar di sekolah. Tingkat kehadiran yang sangat rendah membuat guru kesulitan dalam memberikan penilaian untuk siswa. Berdasarkan studi yang dilakukan dalam co-design ini, beberapa kebiasaan buruk anak adalah aktif menggunakan smartphone dari usia 5 tahun dan kebiasaan begadang bermain game online juga menjadi masalah yang membuat anak sulit fokus di sekolah dan cenderung selalu kelelahan. Di sekolah, guru tidak dapat berkomunikasi dengan baik dengan siswa dan terkesan “bermusuhan” dalam aktivitas belajar setiap hari.
Berdasarkan masalah yang ada di sekolah tersebut, Macanga Institute mencoba bekerjasama dengan sekolah untuk memahami kondisi siswa dan membuat pendekatan baru dalam mendisiplinkan siswa. Sekolah menjadi salah satu komponen penting dalam sistem yang dapat di intervensi dengan peluang perubahan yang lebih realistis disbanding mengubah budaya masyarakat nelayan.
Macanga Institute melaksanakan workshop bersama guru dalam memahami psikologi perkembangan anak dan mencoba mengevaluasi cara-cara lama yang dianggap kurang efektif untuk diubah. Bersama guru-guru dari sekolah dasar di desa tersebut, Macanga Institute membuat program penanganan perilaku anak yang lebih positif, fokus pada mengapresiasi kemajuan yang dilakukan anak dari pada menghukum. Guru-guru secara bersama-sama sepakat untuk membuat token ekonomi untuk membantu siswa memiliki misi yang harus dicapai daripada hanya melarang siswa. Kemudian yang tidak kalah penting adalah mencoba untuk memikirkan program-program pembelajaran yang responsif dan sesuai dengan tantangan siswa yang berasal dari kampung nelayan seperti alternatif belajar di luar kelas dan menyusun materi-materi pembelajaran yang sesuai dengan aktivitas anak nelayan sehari-hari misalnya menangkap dan menjual ikan.
Selama satu bulan percobaan, guru-guru di SD Inpres Malolo telah mampu mengurangi respon marah dan hukuman di sekolah dan menggantikannya dengan apresiasi atau hadiah-hadiah kecil bagi siswa. Hal ini penting untuk memastikan hubungan positif antara guru dan siswa agar dapat bekerjasama mencapai tujuan pembelajaran. Guru-guru juga mampu menjadi lebih proaktif membantu siswa nya memiliki motivasi dan tujuan yang dapat dicapai di sekolah. Selama ini larangan demi larangan terbukti tidak efektif mengubah siswa dan justru membuat siswa semakin jauh dari guru. Selama satu bulan juga terlihat bahwa suasana di sekolah menjadi lebih menyenangkan bagi siswa dengan motivasi yang semakin meningkat.
Namun, program yang dilaksanakan belum sepenuhnya efektif untuk membuat siswa yang tingkat kehadirannya sangat rendah untuk dapat hadir secara rutin seperti siswa lainnya. Masih terdapat hal-hal dalam masyarakat termasuk pekerjaan atau kegiatan tidak terhindarkan yang harus anak-anak tersebut kerjakan. Tugas Macanga Institute selanjutnya adalah mencoba pendekatan yang lebih komprehensif di tengan masyarakat khususnya orang tua untuk dapat mengubah pandangan mereka tentang pendidikan.
Comments